Ahmad Taufik, Kuasa Hukum Pemohon
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh tokoh Syi’ah dari Kabupaten Sampang, Tajul Muluk. Putusan dengan Nomor 84/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (19/9).
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Akil di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Mahkamah beranggapan UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan walaupun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna. Hal ini karena apabila UU Pencegahan Penodaan Agama dicabut sebelum adanya peraturan baru lainnya, maka dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat.
“Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 156a KUHP dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Anwar.
Para Pemohon, lanjut Anwar, mendalilkan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama juncto Pasal 156a KUHP bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil karena tidak ada batasan dan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan frasa “di muka umum” pada norma tersebut.
Menurut Mahkamah, frasa “di muka umum” tersebut telah dijelaskan dalam bagian Penjelasan Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama, yaitu “Dengan kata-kata ‘Dimuka Umum’ dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana…”. Frasa “di muka umum” pada rumusan Pasal 156a KUHP adalah frasa yang juga digunakan dalam delik-delik lain di dalam KUHP, di antaranya Pasal 156 KUHP, Pasal 156 ayat (1) KUHP, dan Pasal 160 KUHP. Frasa “di muka umum” dalam Pasal 160 KUHP, Pasal 162 KUHP dan Pasal 170 KUHP telah dijelaskan oleh R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya”, yaitu “tempat yang didatangi publik atau di mana publik dapat mendengar”, “di tempat umum dan ada orang banyak/khalayak ramai”, dan “di tempat publik dapat melihatnya”.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil Para Pemohon mengenai tidak ada kepastian hukum terhadap batasan dan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ‘di muka umum’ pada norma a quo tidak beralasan menurut hukum,” jelasnya.
Selain itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menjelaskan Pasal 156a KUHP merupakan bagian dari delik-delik penyebaran kebencian yang bertujuan untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk jangan sampai terkena berbagai macam hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dan lain sebagainya di depan umum atau di media massa.
Oleh karena itu, lanjut Patrialis, penentuan perbuatan seseorang telah memenuhi sifat-sifat tersebut merupakan kewenangan dari hakim pengadilan umum yang memutus dan vonis yang dijatuhkan merupakan wujud dari pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sesuai dengan karakteristik kasus masing-masing.
Baca
artikel selengkapnya di PERISTIWA KARBALA
tafhadol
“Hal tersebut merupakan permasalahan dari penerapan hukum dan bukan permasalahan konstitusionalitas,” tuturnya.
Menurut Mahkamah, penerapan Pasal 156a KUHP dengan penafsiran sebagaimana dimaksud permohonan para Pemohon adalah ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan umum, atau merupakan permasalahan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.
“Dengan demikian, permohonan Pemohon untuk menafsirkan pasal a quo adalah tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Patrialis. [de/Islampos]
Post A Comment:
0 comments: